Medan, LINI NEWS – Suasana Gelanggang Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) pada Rabu, 18 Juni 2025, berubah menjadi pusat kesadaran kolektif ketika Direktorat Tindak Pidana Perlindungan Perempuan dan Anak serta Pencegahan dan Penanganan Orang (PPA–PPO) Bareskrim Polri bersama Subdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Sumut menggelar dialog interaktif bertajuk “Rise and Speak”.
Acara ini bukan sekadar sosialisasi, melainkan seruan terbuka kepada mahasiswa agar berani bersuara, melawan, dan turut menjaga ruang akademik dari berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kegiatan tersebut menjadi wadah edukatif yang sarat makna, mengedepankan pentingnya sinergi antara aparat penegak hukum dan generasi muda dalam menciptakan kampus yang aman, inklusif, dan bebas dari kekerasan seksual.
Dialog interaktif ini menghadirkan sejumlah tokoh penting, antara lain Direktur Tindak Pidana PPA–PPO Bareskrim Polri Brigjen Pol Dr. Nurul Azizah, S.I.K., M.Si., Kasubdit IV Renakta Polda Sumut AKBP Dr. P. Samosir, S.H., M.H., serta perwakilan dari Satgas PPKS, BP2MI, BP3MI, UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak Kota Medan, dan ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seperti USU, UNIKA, Unimed, dan UISU.
Dalam sambutannya, Brigjen Pol Nurul Azizah menekankan bahwa mahasiswa bukan hanya objek penyuluhan, melainkan agen perubahan yang memiliki kekuatan moral untuk melawan kekerasan dan ketidakadilan.
“Melalui Rise and Speak, kami ingin membangkitkan keberanian di kalangan mahasiswa untuk tidak tinggal diam terhadap kekerasan terhadap perempuan dan anak. Negara hadir untuk melindungi korban, dan mahasiswa bisa menjadi penggerak perubahan itu,” tegasnya di hadapan peserta.
Senada dengan itu, AKBP P. Samosir menambahkan bahwa pihaknya berkomitmen membuka ruang dialog terbuka dengan mahasiswa, guna memperkuat pemahaman hukum dan memperluas jangkauan perlindungan terhadap korban.
“Ini bukan sekadar penyuluhan. Ini adalah langkah konkret membangun kesadaran hukum dari kampus. Mahasiswa harus menjadi bagian dari solusi, bukan penonton pasif,” katanya.
Selama sesi diskusi, suasana berlangsung dinamis. Mahasiswa tampak antusias menyampaikan opini, pertanyaan kritis, serta mengusulkan ide-ide kolaboratif untuk mengakhiri kekerasan berbasis gender di lingkungan kampus. Banyak dari mereka menyatakan komitmen pribadi untuk menjadi pelopor kampus ramah dan responsif terhadap isu kekerasan seksual.
Kegiatan ini sekaligus menjadi refleksi bahwa keberanian untuk bersuara dan bertindak harus terus dirawat, terutama di ruang-ruang pendidikan yang selama ini masih belum sepenuhnya aman bagi semua kalangan. “Rise and Speak” bukan sekadar slogan, melainkan sebuah gerakan nasional yang menyatukan suara anak muda, aparat, dan lembaga negara dalam satu misi: menciptakan Indonesia yang bebas dari kekerasan terhadap perempuan dan anak.(Nurlince Hutabarat)