Medan, LINI NEWS Persangkaan percobaan pemerasan pasal 365 yo 53 KUHP terhadap empat orang kini telah menjadi sorotan publik, terutama setelah munculnya dugaan manipulasi narasi hukum dan pelanggaran terhadap logika prosedural penegakan hukum.
PEOJF adalah singkatan dari “Petugas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia”. Tugas utamanya adalah melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia ketika terjadi wanprestasi atau pelanggaran perjanjian oleh debitur yang melibatkan benda yang dijadikan jaminan fidusia.
PEOJF kini menjadi sorotan tajam publik, terutama setelah munculnya dugaan manipulasi narasi hukum dan pelanggaran terhadap logika prosedural penegakan hukum. Dasar Hukum:
PEOJF bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Peran Penting: PEOJF berperan penting dalam menjaga kepastian hukum dan melindungi hak-hak kreditur dalam perjanjian fidusia.
Dr. Longser, seorang pakar Hukum Pidana, dengan lantang menyuarakan kejanggalan tersebut. Ia menyebut bahwa penetapan status tersangka terhadap keempat tersangka tersebut tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga mencerminkan potret buram kriminalisasi terhadap pihak yang justru menjalankan tugas berdasarkan legalitas fidusia.
Logika Hukum yang Dibelokkan
Empat orang PEOJF yang bertugas atas dasar kuasa dan dokumen resmi dari perusahaan pembiayaan.
“Padahal, secara yuridis, kendaraan yang ditarik berada dalam status jaminan fidusia — bukan milik dr Lia Praselia, bukan debitur yang menguasai mobil tanpa hak dugaan penadah mobil objek fidusia. Debitur adalah Bapak Usman yang sudah melaporkan penggelapan mobil objek fidusia itu pada Juli 2017 oleh tersangak Eko di Polsek Dolok Masihul Polres Serdang Bedagai,” ungkapnya.
Artinya, jika Debitur Wanprestasi, pemberi fidusia (leasing) memiliki hak hukum untuk menarik kembali kendaraan tersebut melalui perwakilan resminya.
dijelaskannya, “Seharusnya pada Rabu Tanggal, 21 Mei 2025 yang ditangkap adalah sdri dr Lia Praselia tersangka tertangkap tangan turut serta dan atau membantu melakukan penggelapan mobil objek fidusia dan atau pertolongan jahat yang patut diketahuinya mobil yang dikuasainya hasil kejahatan diuraikan pasal 372 KUHP yo 55 , 56 KUHP dan/atau pasal 480 KUHP, berdasarkan Laporan Polisi debitur atas nama Usman,” jelasnya.
Modus Tuduhan Perampasan HP Ironi di Tengah Mediasi , pantaskah 4 Orang utk Rampas HP?
“Secara logika, bagaimana mungkin ada tindak perampasan HP di dalam ruang mediasi polisi, tempat netral dan diawasi aparat hukum? Ini sungguh tidak masuk akal. Apalagi dilakukan oleh empat orang terhadap satu unit ponsel. Kalau ini bukan rekayasa narasi, lalu apa?” ujar Dr. Longser, penuh keheranan.
Pasal 365 KUHP sendiri merupakan pasal serius karena menyangkut perampokan dengan kekerasan, dan biasanya dijerat untuk kasus-kasus kriminal jalanan dengan tingkat kekerasan tinggi, salah satu unsur ancaman kekerasan adalah memaksa orang sehingga tidak berdaya. Penerapan pasal ini dalam ruang mediasi hukum menjadi bukti bahwa ada upaya sistemik untuk “memoles” perkara agar tampak berat dan mengintimidasi secara hukum dan posisi di gari dilakukan Komprensi Pers Kamis 22 Mei 2025 , jangan lupa asas praduga tidak bersalah.
Pertanyaan Besar: Apa Motif di Balik Kriminalisasi Ini? Dan Konprensi Pers Kapolrestabes Medan ????
Kasus ini membuka pertanyaan besar: mengapa tindakan yang jelas-jelas sah menurut UU Fidusia justru dibalikkan menjadi tindak pidana? Apakah ada tekanan dari pihak dr LP yang memiliki kuasa atau kedekatan dengan aparat? Ataukah ini merupakan cerminan dari buruknya perlindungan terhadap profesi PEOJF resmi yang menjalankan tugasnya sesuai aturan?
Penegakan Hukum yang Harus Dievaluasi/ Audit
Dr Longser menegaskan, Kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi aparat penegak hukum, termasuk kepolisian dan kejaksaan, untuk mengevaluasi cara kerja mereka dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan sengketa perdata seperti fidusia. Tidak semua kasus penarikan kendaraan bermotor dapat serta merta dikriminalisasi hanya karena pihak non debitur pelaku penadahan mobil objek fidusia.
“Bahwa terjadi preseden buruk dan ketakutan di kalangan pelaku industri pembiayaan. Bila aparat tidak mampu membedakan mana ranah perdata dan mana ranah pidana, maka akan terjadi ketimpangan hukum yang sistemik.” imbuh Dr Longser Sihombing menutup.(**)